Bismilahirrahmanirrahim Walhamdulillah Wassholatu Wassalamu `Ala Rasulillah, Wa’ala Aalihie Washohbihie Waman Walaah amma ba’du…
Suryalaya, 26 tahun lalu. Sekelompok pemuda yang amat lemah daya nalarnya, sulit mengerti pembicaraan orang atau ‘telat mikir’. Mereka juga tak punya ingatan yang baik, hanya mampu mengingat selama lima menit kemudian lupa begitu saja, setelah sebelumnya diajarkan huruf-huruf hijaiyah secara intensif.
Mereka adalah korban narkotika. Orang tuanya yang di ambang putus
asa, menitipkan mereka secara khusus kepada seorang kiai berusia 58
tahun, yang tetap disebut ‘Kiai Muda’ atau dalam bahasa masyarakat
setempat dikenal sebagai ‘Abah Anom’, pengasuh Pesantren Suryalaya.
Beberapa bulan kemudian, setelah mengikuti ritual ala Thariqat
Qadiryyah Naqsabandiyyah, mereka tampak normal kembali. Bahkan
kemudian mampu hidup mandiri, dengan mendapat pekerjaan yang layak.
Sejak itu berbondong-bondong remaja semodel dengan pendahulunya
dititipkan oleh orang tua mereka. Karena tak mungkin menggabungkan
mereka dengan para santri yang normal, maka dibuatlah satu pesantren
khusus remaja narkoba, Pesantren Inabah namanya.
Di mata Abah, makanan tak halal adalah salah satu sebab hancurnya
generasi muda. “Karena barang yang haram kalau dimakan akan membawa
dampak negatif, disamping menggelapkan hati,” tegasnya kepada
Republika, tiga tahun lalu.
Enam tahun kemudian (1978-1979), Pesantren Inabah berhasil
menyelamatkan dua pertiga penghuninya, yang umumnya adalah anak-anak
orang ‘berpangkat’. Mulai dari ABRI, pegawai negeri sipil, pengusaha
bahkan dari golongan alim ulama. Yang umumnya berasal dari Jakarta.
Sejak itu nama Pesantren Inabah, naik daun sampai sekarang. Setahun kemudian (1980), diadakan lokakarya di pesantren itu yang dihadiri oleh 8 departemen sekaligus. Yang tergabung dalam kerjasama lintas sektoral, yang dibuat khusus untuk menanggulangi kenakalan remaja.
Pesantren Inabah, menjadi fenomena tak hanya di Indonesia bahkan
meluas sampai mancanegara. Tapi, siapa Abah Anom, dan apa itu Inabah?
Sufi yang utuh
Ahmad Shohibulwafa Tajul Arifin adalah nama asli Abah Anom. Lahir 1 Januari 1915 di Suryalaya, Tasikmalaya. Ia anak kelima dari Syekh Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad, atau Abah Sepuh, pendiri Pesantren Suryalaya. Sebuah pesantren tasawuf yang khusus mengajarkan Thariqat Qadiriyyah Naqsabandiyah (TQN).
Ia memasuki bangku sekolah dasar (Vervooleg school) di Ciamis, pada usia 8 tahun. Lima tahun kemudian melanjutkan ke madrasah tsanawiyah di kota yang sama. Usai tsanawiyah, barulah ia belajar ilmu agama Islam, secara lebih khusus di berbagai pesantren.
Ia keluar masuk berbagai macam pesantren yang ada di sekitar Jawa
Barat seperti, Pesantren Cicariang dan Pesantren Jambudwipa di
Cianjur untuk ilmu-ilmu alat dan ushuluddin. Sedangkan di Pesantren Cireungas, ia juga belajar ilmu silat. Minatnya untuk belajar silat diperdalam ke Pesantren Citengah yang dipimpin oleh Haji Djunaedi yang terkenal ahli “alat”, jago silat dan ahli hikmat.
Kegemarannya menuntut ilmu, menyebabkan Abah Anom menguasai berbagai macam ilmu keislaman pada usia relatif muda (18 tahun). Didukung dengan ketertarikannya pada dunia pesantren, telah mendorong ayahnya yang dedengkot Thoriqot Qadiriyah Naqsabandiyah (TQN) untuk
mengajarinya dzikir TQN. Sehingga ia menjadi wakil talqin ayahnya
pada usia relatif muda.
Mungkin sejak itulah, ia lebih di kenal dengan sebutan Abah Anom. Ia resmi menjadi mursyid (pembimbing) TQN di Pesantren tasawuf itu sejak tahun 1950. Sebuah masa yang rawan dengan berbagai kekerasan
bersenjata antar berbagai kelompok yang ada di masyarakat, terutama
antara DI/TII melawan TNI.
“Tasawuf tidak hanya produk asli Islam, tapi ia telah berhasil mengembalikan umat Islam kepada keaslian agamanya pada kurun-kurun tertentu,” tegas Abah Anom, tentang eksistensi tasawuf dalam ajaran Islam.
Tasawuf yang dipahami Abah Anom, bukanlah kebanyakan tasawuf yang
cenderung mengabaikan syari’ah karena mengutamakan dhauq (rasa). Menurutnya, sufi dan pengamal tarekat tidak boleh meninggalkan ilmu syari’ah atau ilmu fiqih. Bahkan, menurutnya lagi, ilmu syari’ah adalah jalan menuju ma’rifat.
Ia, sebagaimana lazimnya sosok sufi, tak ingin terkenal. “Ia amat
sulit untuk diwawancarai wartawan, karena beliau tak ingin dikenal
orang,” ungkap Ustadz Wahfiudin, mubaligh Jakarta yang menjadi salah
seorang muridnya.
Kendati demikian, ia bukanlah sosok sufi yang lari ke hutan-hutan dan gunung-gunung, seperti legenda sufi yang sering mampir ke telinga
kita. Yang hidup untuk dirinya sendiri, dan menuding masyarakat
sebagai musuh yang menghalangi dirinya dari Allah swt. Ia akrab
dengan berbagai medan kehidupan, mulai dari pertanian sampai
pertempuran.
Pada tahun 50-60-an kondisi perekonomian rakyat amat mengkhawatirkan. Abah Anom turun sebagai pelopor pemberdayaan ekonomi umat. Ia aktif membangun irigasi untuk mengatur pertanian, juga pembangunan kincir angin untuk pembangkit tenaga listrik.
Bahkan Abah Anom membuat semacam program swasembada beras di kalangan masyarakat Jawa Barat untuk mengantisipasi krisis pangan. Aktivitas ini telah memaksa Menteri Kesejahteraan Rakyat Suprayogi dan Jendral A. H. Nasution untuk berkunjung dan meninjau aktifitas itu di Pesantren Suryalaya.
Medan pertempuran bukanlah wilayah asing bagi Abah Anom. Pada masa-masa perang kemerdekaan, bersama Brig. Jend. Akil bahu-membahu
memulihkan keamanan dan ketertiban di wilayahnya. Ketika pemberontakan PKI meletus (1965), ia bersama para santrinya melakukan
perlawanan bersenjata.
Bahkan tidak hanya sampai di situ, Abah Anom membuat program
“rehabilitasi ruhani” bagi para mantan PKI. Tak heran, jika Abah
mendapat berbagai penghargaan dari Jawatan Rohani Islam Kodam VI
Siliwangi, Gubernur Jawa Barat dan instansi lainnya.
Medan pendidikan juga tak luput dari ruang aktivitasnya. Mulai dari pendirian Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah ‘Aliyah pada tahun 1977, sampai pendirian Institut Agama Islam Latifah Mubarokiyah pada tahun 1986.
Kiprahnya yang utuh di berbagai bidang kehidupan manusia, ternyata
berawal dari pemahamannya tentang makna zuhud. Jika kebanyakan kaum
sufi berpendapat zuhud adalah meninggalkan dunia, yang berdampak pada
kemunduran umat Islam. Maka menurut pendapat Abah Anom, “Zuhud adalah
qasr al-’amal artinya, pendek angan-angan, tidak banyak mengkhayal
dan bersikap realistis. Jadi zuhud bukan berarti makan ala kadarnya
dan berpakaian compang camping.”
Abah merujuk pada surat An-Nur ayat 37 yaitu, “Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari
mengingat Allah dan dari mendirikan shalat, (dari) membayarkan zakat.
Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati menjadi
guncang.”
Jadi, menurut beliau seorang yang zuhud adalah orang yang mampu
mengendalikan harta kekayaannya untuk menjadi pelayannya, sedangkan
ia sendiri dapat berkhidmat kepada Allah swt semata. Atau seperti
dikatakan Syekh Abdul Qadir Jailani, “Dudukkanlah dirimu bersama kehidupan duniawi, sedangkan kalbumu bersama kehidupan akhirat, dan rasamu bersama Rabbmu.”
Inabah
Mengentaskan manusia dari limbah kenistaan bukanlah perkara mudah.
Abah Anom memiliki landasan teoritis yang kuat untuk merumuskan
metode penyembuhan ruhani, semuanya ada dalam nama pesantren itu
sendiri yaitu, Inabah.
Abah Anom menjadikan Inabah tidak hanya sekedar nama bagi
pesantrennya, tapi lebih dari itu, ia adalah landasan teoritis untuk
membebaskan pasien dari gangguan kejiwaan karena ketergantungan
terhadap obat-obat terlarang. Dalam kacamata tasawuf, ia adalah nama
sebuah peringkat ruhani (maqam), yang harus dilalui seorang sufi dalam perjalanan ruhani menuju Allah swt.
“..Salah satu hasil dari muraqabatullah adalah al-inabah yang
maknanya kembali dari maksiat menuju kepada ketaatan kepada Allah swt
karena merasa malu ‘melihat’ Allah,” jelas Abah yang merujuk pada
kitab Taharat Al-Qulub.
Dalam teori inabah, untuk menancapkan iman dalam qalbu, tak ada cara lain kecuali dengan dzikir laa ilaha ilallah, cara ini di kalangan TQN disebut talqin. Demikian juga dalam mesikapi mereka yang dirawat di pesantren Inabah. Mereka harus diberikan ‘pedang’ untuk menghalau musuh-musuh di dalam hati mereka, pedang itu adalah dzikrullah.
Orang-orang yang dirawat di Inabah diperlakukan seperti orang yang
terkena penyakit hati, yang terjebak dalam kesulitan, kebingungan dan
kesedihan. Mereka telah dilalaikan dan disesatkan setan sehingga tak
mampu lagi berdzikir pada-Nya. Ibarat orang yang tak memiliki senjata
lagi menghadapi musuh-musuhnya. Walhasil, obat untuk mereka adalah
dzikir.
Shalat adalah salah satu bentuk dzikir. Menurut pandangan Abah Anom, para pasien itu belum dapat shalat karena masih dalam keadaan mabuk (sukara), karena itu langkah awalnya adalah menyadarkan mereka dari keadaan mabuk dengan mandi junub. Apalagi sifat pemabuk adalah ghadab (pemarah), yang merupakan perbuatan syaithan yang terbuat dari api. Obatnya tiada lain kecuali air.
Jadi, selain dzikir dan shalat, untuk menyembuhkan para pasien itu
digunakan metode wudlu dan mandi junub. Perpaduan kedua metode itu
sampai kini tetap digunakan Abah Anom untuk mengobati para pasiennya
dari yang paling ringan sampai yang paling berat, dan cukup berhasil.
Buktinya, cabang Inabah tak hanya di Indonesia, di Singapura langsung
berdiri sebuah cabang serta Malaysia dua buah cabang. Belum lagi tamu-tamu yang mengalir dari berbagai benua seperti Afrika, Eropa dan
Amerika.
M Novel Ariyadi
dari Suara Hidayatullah, 1999
0 komentar