BIOGRAFI Syekh Nawawi Al-Bantani

Minggu, 29 Januari 2012


Syekh Nawawi Banten (1230-1314 H/1813-1897 M) alias Syaikh Nawawi Al-Jawi Al-Bantani Asy-Syafi’i adalah
satu dari tiga ulama Indonesia yang mengajar di Masjid Al-Haram di Makkah Al-Mukarramah pada akhir abad ke-19 dan
awal abad ke-20. Dua yang lain ialah muridnya, Ahmad Khatib Minangkabau, dan Kiai Mahfudz Termas (wafat 1919-20
M).
Nama lengkapnya ialah Abu Abdul Mu’thi Muhammad Nawawi bin ‘Umar bin Arabi al-Jawi al-Bantani. Ia
dilahirkan di Tanara, serang, Banten, pada tahun 1230 H/ 1813 M. Ayahnya seorang tokoh agama yang sangat disegani.
Ia masih punya hubungan nasab dengan Maulana Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati (Cirebon). Istrinya yang
pertama bernama Nasimah, juga lahir di Tanara. Darinya, Syekh Nawawi dikaruniai tiga putri, Nafisah, Maryam, dan
Rubi’ah. Istrinya yang kedua, Hamdanah, memberinya satu putri: Zuhrah. Konon, Hamdanah yang baru berusia
berlasan tahun dinikahi sang kiai pada saat usianya kian mendekati seabad. Pada usia 15 tahun, Nawawi muda pergi
belajar ke Tanah Suci Makkah, karena saat itu Indonesia –yang namanya masih Hindia Belanda- dijajah oleh
Belanda, yang membatasi kegiatan pendidikan di Nusantara. Beberapa tahun kemudian, ia kembali ke Indonesia untuk
menyalurkan ilmunya kepada masyarakat.
Tak lama ia mengajar, hanya tiga tahun, karena kondisi Nusantara masih sama, di bawah penjajahan oleh Belanda,
yang membuat ia tidak bebas bergiat. Ia pun kembali ke Makkah dan mengamalkan ilmunya di sana, terutama kepada
orang Indonesia yang belajar di sana. Banyak sumber menyatakan Syekh Nawawi wafat di Makkah dan dimakamkan di
Ma’la pada 1314 H/ 1897 M, namun menurut Al-A’lam dan Mu’jam Mu’allim, ia wafat pada
1316 H/ 1898 M.
Penulis Multi Dimensi
Jejak Syekh Nawawi, baik melalui murid dan pengikutnya maupun melalui kitabnya, yang masih berpengaruh dan
dipakai di pesantren hingga kini, benar-benar pantas menempatkannya sebagai nenek moyang gerakan intelektual Islam
di Nusantara. Bahkan, sangat boleh jadi, ia merupakan bibit penggerak (King Maker) militansi muslim terhadap Belanda
penjajah.
Sebagai pengarang yang paling produktif, Kiai Nawawai Banten punya pengaruh besar di dikalangan sesama orang
Nusantara dan generasi berikutnya melalui pengikut dan tulisannya. Tak kurang dari orientalis Dr. C. Snouck Hurgronje
memujinya sebagai orang Indonesia yang paling alim dan rendah hati. Ia menerbitkan lebih dari 38 kitab. Sumber lain
mengatakan lebih dari 100 kitab.
Ia menulis kitab dalam hampir setiap disiplin ilmu yang dipelajari di pesantren. Berbeda dari pengarang Indonesia
sebelumnya, ia menulis dalam bahasa Arab. Beberapa karyanya merupakan syarah (komentar) atas kitab yang telah
digunakan di pesantren serta menjelaskan, melengkapi, dan terkadang mengkoreksi matan (kitab asli) yang dikomentari.
Sejumlah syarah-nya benar-benar menggantikan matan asli dalam kurikulum pesantren. Tidak kurang dari 22 karyanya
(ia menulis paling sedikit dua kali jumlah itu) masih beredar dan 11 kitabnya yang paling banyak digunakan di pesantren.
Syekh Nawawi Banten berdiri pada titik peralihan antara dua periode dalam tradisi pesantren. Ia memperkenalkan dan
menafsirkan kembali warisan intelektualnya dan memperkayanya dengan menulis karya baru berdasarkan kitab yang
belum dikenal di Indonesia pada zamannya. Semua kyai zaman sekarang menganggapnya sebagai nenek moyang
intelektual mereka.
Bahkan, Ahmad Khatib Minangkabau, pun termasuk siswanya. Muridnya yang lain antara lain, K.H. Hasyim Asy-ari, K.H.
Khalil Bangkalan, K.H. Raden Asnawi, dan K.H. Tubagus Asnawi.
Karya-karya Monumentalnya
beberapa karya monumentalnya antara lain adalah Qathr al-Ghaits, merupakan syarah dari kitab akidah terkenal, Ushul
qBis, karya Abu Laits al-Samarqandi, yang di Jawa lebih dikenal sebagai Asmaraqandi. Bersama karya Ahmad Subki
Pekalongan, Fath al-Mughits, yang merupakan terjemahan Jawa Ushul 6 Bis, Qathr al-Ghaits banyak dipakai dan
menjadikan Ushul 6 Bis lebih terkenal.
Ushul 6 Bis ialah karya tentang ushuluddin yang terdiri atas enam bab yang masing-masing dibuka dengan kata
bismillah. Pada abad ke-19, Ushul 6 Bis merupakan kitab akidah pertama yang dipelajari di pesantren tingkat rendah
Indonesia. Dua kitab lain yang diajarkan di tingkat yang sama ialah kitab fiqh at-Taqrib fi al-Fiqh karya Abu Syuja’
al-Isfahani dan Bidayah al-Hidayah, ringkasan Ihya karya al-Ghazali.
Kitab Madarij al-Su’ud Ila Ikhtisah al-Burud, yang berbahasa Arab dalam berbagai terbitan merupakan adaptasi
Indonesia kitab karya Ja’far bin Hasan al-Barzinji tentang Maulid an-Nabi (‘Iqd al-Jawahir). Karya acuan
lain yang paling penting ialah Minhaj at-Thalibin dan komentarnya atas karya Khatib Syarbini, Mughni al-Muhtaj. Minhaj
Pondok Pesantren
http://www.pondokpesantren.net/ponpren _PDF_POWERED _PDF_GENERATED 2 July, 2010, 20:45
yang menjadi dasar utama semua teks juga dianggap sebagai sumber riil otoritas.
Teks dasar dalam bidang akidah ialah Umm Al-Barahin (disebut juga Al-Durrah) karya Abu’Abdullah M. bin Yusuf
al-Sanusi (wafat 895 H/ 1490 M). Syarah yang lebih mendalam, yang dikenal sebagai as-Sanusi, ditulis oleh
pengarangnya sendiri. Karya lain yang sebagain didasarkan atas As-Sanusi ialah Kifayah al-‘Awwam karya
Muhammad bin Muhammadal-Fadhdhali (wafat 1236 H/ 1821 M) yang sangat popular di Indonesia.
Murid Fadhali, Ibrahim Bajuri (wafat 1277 H/1861 M) menulis syarah-nya, Taqiq al-Maqam ‘Ala Kifayah
al’Awwam, yang dicetak bersama Kifayah dalam edisi Indonesia. Syarah ini di-hasyiyah-kan oleh Nawawi Banten
dalam karya yang banyak dibaca orang, Tijan ad-Durari.
Tidak hanya itu, syekh Nawawi juga menulis kitab yang digunakan untuk anak-anak dan remaja. Kitab singkat berbentuk
sajak bagi mereka yang berusia belia dan baru mengerti bahasa Arab, ‘Aqidah al-Awwam, ditulis oleh Ahmad al-
Marzuqi al-Maliki al-Makki yang giat kira-kira 1864. Syekh Nawawi menulis syarah yang terkenal atasnya, Nur Azh-
Zhalam.
Nasha’ih al-‘Ibad juga merupakan karya lain Syekh Nawawi. Kitab ini merupakan syarah atas karya Ibn
Hajar al-‘Asqalani, an-Nabahah ‘ala Isti’dad. Kitab ini memusatkan pembahasan atas adab
berperilaku dan seiring dijadikan karya pengantar mengenal akhlak bagi santri yang lebih muda.
Syekh Nawawi juga menulis syarah berbahasa Arab atas Bidayah al-Hidayah karya Abu Hamid al-Ghazali dengan judul
Maraqi al-‘Ubudiyah yang lebih popular, jika dinilai dari jumlah edisinya yang berbeda-beda yang masih dapat
ditemukan hingga sekarang. ‘Uqd al-Lujain fi Huquqf az-Zaujain ialah karya Nawawi tentang hak dan kewajiban
istri. Ini adalah materi pelajaran wajib bagi santri putri di banyak pesantren. Dua terjemahan dan syarah-nya dalam
bahasa Jawa beredar, Hidayah al-‘Arisin oleh Abu Muhammad Hasanuddin dari Pekalongan dan Su’ud al-
Kaumain oleh Sibt al-Utsmani Ahdari al-Jangalani al-Qudusi.
Tokoh Sufi Qodiriyah
Syekh Nawawi juga dicatat sebagai tokoh sufi yang beraliran Qadiriyah, yang didasarkan pada ajaran Syaikh Abdul-
Qadir al-Jailani (wafat 561 H/ 1166M). Sayang, hingga riwayat ini rampung ditulis, penulis belum mendapatkan bahan
rujukan yang memuaskan tentang Syekh Nawawi Banten sebagai pengikut tarekat Qadiriyah ataukah tarekat gabungan
Qadiriyah wa Naqshabandiyah.
Padahal, pembacaan sejak lama kitab Manaqib Abdul Qadir pada kesempatan tertentu merupakan indikasi kuatnya
tarekat ini di Banten. Bahkan, Hikayah Syeh, terjemahan salah satu versi Manaqib, Khulashah al-Mafakhir fi Ikhtishar
Manaqib al-Syaikh ‘Abd al-Qadir karangan ‘Afifuddin al-Yafi’i (wafat 1367M), sangat boleh jadi
dikerjakan di Banten pada abad ke-17, mengingat gaya bahasanya yang sangat kuno. Lebih dari itu, pada pertengahan
abad ke-18, Sultan Banten ‘Arif Zainul ‘Asyiqin, dalam segel resminya menggelari diri al-Qadiri.
Seabad kemudian, mukminin dari Kalimantan di Makkah, Ahmad Khatib Sambas (wafat 1878), mengajarkan tarekat
Qadiriyah yang digabungkan dengan Naqshabandiyah. Kedudukannya sebagai pemimpin tarekat digantikan oleh Syaikh
Abdul Karim Banten yang juga bermukim di Makkah. Di tangannya, tarekat gabungan ini berkembang pesat di Banten
dan mempengaruhi meletusnya Geger Cilegon pada 1888 dan amalannya melahirkan debus.
Begitulah, Syeikh Nawawi bin ‘Umar al-Bantani yang hidup kira-kira satu abad setelah ‘Abd as-Samad al-
Falimbani disebut dalam isnad kitab tasawuf yang diterbitkan oleh ahli isnad kitab kuning Syekh Yasin Padang
(Muhammad Yasin bin Muhammad ‘Isa al-Fadani) sebagai mata rantai setelah ‘Abd as-Samad.
Syekh Nawawi yang sangat produktif itu juga menulis kitab syarah, Salalim al-Fudhala’, atas teks pelajaran
tasawuf praktis Hidayah al-Adzkiya’ (Ila Thariq al-Auliya’) karya Zain ad-Din al-Malibari yang ditulis dalam
untaian sajak pada 914 H/ 1508-09 M. kitab ini popular di Jawa, misalnya disebutkan dalam Serat Centhini. Salalim
dicetak di tepi Kifayah al-Ashfiya’ karya Sayyid Bakri bin M. Syaththa’ ad-Dimyati.
Penyumbang Ilmu Fiqh
Syekh Nawawi termasuk ulama tradisional besar yang telah memberikan sumbangan sangat penting bagi
perkembangan ilmu fiqh di Indonesia. Mereka memperkenalkan dan menjelaskan, melalui syarah yang mereka tulis,
berbagai karya fiqh penting dan mereka mendidik generasi ulama yang menguasai dan memberikan perhatian kepada
fiqh.
Ia menulis kitab fiqh yang digunakan secara luas, Nihayat al-Zain. Kitab ini merupakan syarah kitab Qurrat al-‘Ain,
yang ditulis oleh ulama India Selatan abad ke-16, Zain ad-Din al-Malibari (w. 975 M). ulama India ini adalah murid Ibnu
Hajar al-haitami (wafat 973 M), penulis Tuhfah al-Muhtaj, tetapi Qurrat dan syarah yag belakangan ditulis al-Malibari
sendiri tidak didasarkan pada Tuhfah.
Qurrat al-‘Ain belakangan dikomentari dan ditulis kembali oleh pengarangnya sendiri menjadi Fath al-Muin. Dua
Pondok Pesantren
http://www.pondokpesantren.net/ponpren _PDF_POWERED _PDF_GENERATED 2 July, 2010, 20:45
orang yang sezaman dengan Syekh Nawawi Banten di Makkah tapi lebih muda usianya menulis hasyiyah (catatan) atas
Fath al-Mu’in. Sayyid Bakri bin Muhammad Syatha al-Dimyathi menulis empat jilid I’aanah at-Thalibbin
yang berisikan catatan pengarang dan sejumlah fatwa mufti Syafi’i di Makkah saat itu, Ahmad bin Zaini Dahlan.
Inilah kitab yang popular sebagai rujukan utama.
Syekh Nawawi Banten juga menulis dalam bahasa Arab Kasyifah as-Saja’, syarah atas dua karya lain yang juga
penting dalam ilmu fiqh. Yang satu teks pengantar Sullamu at-Taufiq yang ditulis oleh ‘Abdullah bin Husain bin
Thahir Ba’lawi (wafat 1272 H/ 1855 M). yang lain ialah Safinah an-Najah ditulis oleh Salim bin Abdullah bin Samir,
ulama Hadrami yang tinggal di Batavia (kini: Jakarta) pada pertengahan abad ke-19.
Kitab daras (text book) ar-Riyadh al Badi’ah fi Ushul ad-Din wa Ba’dh Furu’ asy-Syari’ah
yang membahas butir pilihan ajaran dan kewajiban agama diperkenalkan oleh Kyai Nawawi Banten pada kaum muslimin
Indonesia. Tak banyak diketahui tentang pengarangnya, Muhammad Hasbullah. Barangkali ia sezaman dengan atau
sedikit lebih tua dari Syekh Nawawi banten. Ia terutama dikenal karena syarah Nawawi, Tsamar al-Yani’ah.
Karyanya hanya dicetak di pinggirnya.
Sullam al-Munajat merupakan syarah Nawawi atas pedoman ibadah Safinah ash-Shalah karangan Abdullah bin
‘Umar al-Hadrami, sedangkan Tausyih Ibn Qasim merupakan komentarnya atas Fath al-Qarib. Walau
bagaimanapun, masih banyak yang belum kita ketahui tentang Syekh Nawawi Banten. (ditulis oleh Martin Muntadhim

Artikel Terkait Fakhrinet : klik disini u/ melihat Daftar isi

Subscribe in a reader

Atau Berlangganan gratis Via Email Di bawah ini

0 komentar

Posting Komentar

Silakan kirimkan komentar anda, Anda komentar saya akan mengunjungi dan jadi mitra Blog anda.

Note:
Dilarang nyepam atau memasukan Link dipesan komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

    Daftar ISI

    Berdasarkan Tanggal Posting
    Kalau yang ini untuk melihat Berdasarkan Label / Category

    Pengikut